Laman

Jumat, 12 Februari 2010

Civil Society

Supremasi Hukum Dalam Masyarakat Sipil (Civil Society)
Istilah masyarakat sipil (civil society) lebih dikenal dengan sebutan masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan konsep tentang keberadaan satu masyarakat yang dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya sendiri melalui penciptaan aktivitas sendiri, dalam satu ruang gerak yang tidak memungkinkan Negara melakukan intervensi. Untuk membangun masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang Menurut Anis Matta, Masyarakat Madani dalam Islam mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
1. Representasi ilmu pengetahuan, Tiap orang atau kelompok bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan , “Kebutuhan manusia pada ilmu pengetahuan, sama kebutuhannya dengan kebutuhannya terhadap makan dan minum.”
2. Supremasi Hukum adalah Panglima dalam masyarakat tetapi bukan ekonomi atau politik.
3. Etika Madaniyah dalam masyarakat, selain ada aturan-aturan verbal dan legal formal, yang namanya hukum, juga ada konvensi-konvensi sosial yang tak tertulis. Tapi menampakkan diri dalam perilaku umum masyarakat.
4. Keseimbangan kekuasaan, keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat itu terdistribusi ke dalam kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Tiap kelompok memerankan fungsi tertentu, yang membuat masyarakat memiliki rasa saling ketergantungan . Sebab itu, negara tak lebih kuat dari masyarakat. Masyarakat egaliter adalah ciri keempat.
5. Jaringan sosial yang solid, tiap individu atau kelompok dalam masyarakat, merupakan entitas yang hidup sebagai suatu sel, yang membentuk jaringan masyarakat. Sehingga saling terhubungkan dan tak rawan rekayasa.
6. Apresiasi keindahan dalam masyarakat orang memiliki apresiasi keindahan yang tinggi. Dan itu teraplikasikan pada performa kolektif masyarakat.
Untuk membangun masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan masyarakat yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu. Hikam merumuskan empat ciri-ciri utama dari masyarakat madani yaitu:
1. Kesukarelaan, artinya keanggotaan dari masyarakat madani adalah secara sukarela membentuk suatu kehidupan bersama, mempunyai komitmen bersama yang sangat besar untuk mewujudkan cita-cita bersama. Untuk membangun masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi dengan sendirinya tanggung jawab pribadi sangat kuat karena diikat oleh keinginan bersama untuk mewujudkan keinginan tersebut.
2. Keswasembadaan, artinya keanggotaan yang suka rela hidup bersama tentunya tidak akan menggantungkan kehidupannya kepada orang lain, Negara, lembaga-lembaga atau organisasi lainnya, karena anggota mempunyai harga diri yang tinggi yang percaya akan kemampuan sendiri untuk berdiri sendiri, bahkan dapat membantu sesame yang kekurangan. Keanggotaan yang penuh percaya diri tersebut adalah anggota yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakatnya.
3. Kemandirian tinggi terhadap Negara, yaitu bagi mereka negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang berkedaulatan rakyat.
4. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.

Jadi “civil society” disepadankan dengan “masyarakat madani”, mengacu pada masyarakat demokratis di Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW yang di atur dalam piagam Madinah. Negara Madinah yang dibangun dan dipimpin oleh Rasulullah SAW, demikian tercatat dalam sejarah, segera berkembang sebagai negara yang aman, adil dan makmur; yang sampai sekarang tetap menjadi referensi negara modern dengan program membangun masyarakat madani atau civil society.
Kondisi sosial-politik dan sejahteranya kehidupan ekonomi negara Madinah, karena ditopang oleh pilar keadilan. Keadilan adalah syarat dan ciri lain yang mesti dimiliki oleh suatu bangsa dan negara yang ingin maju sebagai bangsa berperadaban dan berbudaya.
Visi dan misi keadilan inilah yang sangat menonjol dan menjadi salah satu prioritas kebijakan politik Rasulullah SAW di dalam memimpin dan membangun negara. Apa yang dewasa ini dibahasa-populerkan dengan istilah supremasi hukum, oleh Rasulullah SAW telah dicontoh-praktikkan sejak empat belas abad silam.
Di dalam sebuah hadits, diriwayatkan kasus seorang wanita keturunan bangsawan yang melakukan tindak pencurian. Sebagian sahabat berharap, karena mempertimbangkan status sosialnya, agar wanita ini tidak diberi sanksi atau cukup diberi hukuman ringan. Seorang sahabat dekat dan kesayangan Rasulullah SAW, Usamah bin Zaid menghadap beliau dengan kalimat tersusun rapi disampaikan dengan bahasa lembut memohon amnesti. Namun dengan bahasa yang lebih lembut tetapi sangat tajam, Rasulullah SAW menjawab seraya bersabda yang artinya; Sesungguhnya bangsa-bangsa sebelum kalian telah hancur, karena kalau ada orang terhormat yang mencuri, maka mereka biarkan begitu saja. Tetapi kalau yang mencuri itu rakyat kecil, maka hukuman berat pasti mereka kenakan. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.(H.RBukhari).
Keadilan adalah misi Ilahiyah dan merupakan rukun yang paling azasi bagi kehidupan sosial politik, yang harus diberlakukan oleh dan diberikan kepada seluruh umat manusia. Di dalam Alquran tidak sedikit ayat yang menyuruh kita untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu, bebas dari suasana batin suka atau tidak suka. Allah SWT berfirman yang artinya Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu golongan, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.Al-Maidah;8).
Prinsip keadilan yang mengaktual dalam konteks penegakan supremasi hukum, sungguh mempunyai korelasi signifikan bagi terwujudnya kesejahteraan suatu bangsa dan negara. Telah terbukti secara empiris, bahwa negara-negara yang peduli terhadap keadilan dan supremasi hukum, relatif kehidupan ekonominya akan berkembang ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, negara-negara yang kurang menghormati wibawa hukum, dapat diprediksi akan kehilangan sebagian potensi ekonomi yang menjadi impian kesejahteraan bangsa dan rakyatnya.
Oleh karena itu maka penegakan hokum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan perilaku sebagai penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Dengan demikian, sistem penegakan hukum yang baik menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaidah-kaidah, serta dengan prilaku nyata dari manusia. Berlakunya hukum dapat dibedakan atas:
1. Berlakunya hukum secara yuridis yang intinya adalah bahwa hokum sebagai kaidah berlaku (sah), apabila terbentuk menurut cara yang telah ditentukan.
2. Berlakunya hukum secara sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hokum dalam masyarakat.
3. Berlakunya hukum secara filosofis, artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hokum, sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya Pancasila, masyarakat adil dan makmur, dan sebagainya.

Sehubungan dengan landasan dan sasaran berlakunya hukum, maka agar hukum dapat berfungsi dengan baik, diperlukan keserasian dalam hubungan empat faktor, yaitu:
1. Hukum atau peraturan itu sendiri.
2. Mentalitas petugas yang menegakkan hokum. Penegak hokum antara lain mencakup hakim, jaksa, polisi, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baikan tetapi mental penegak hokum kurang baik, maka akan terjadi gangguan pada system penegakan hukum.
3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4. Kesadaran dan kepatuhan hukum dari warga masyarakat.

Dapat kita simpulkan untuk membangun negara modern dengan program membangun masyarakat madani atau civil society yaitu dengan menciptakan kondisi sosial-politik dan kesejahteraan kehidupan ekonomi suatu negara yang ditopang oleh pilar keadilan. Keadilan adalah syarat dan ciri lain yang mesti dimiliki oleh suatu bangsa dan negara yang ingin maju sebagai bangsa berperadaban dan berbudaya. Keadilan harus diberikan kepada seluruh umat manusia dengan selalu menegakan supremasi hukum.

Guru dan Pendidikan Masa Depan

GURU DAN PENDIDIKAN DI MASA DEPAN

A. PENDAHULUAN

Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya terutama di kabupaten atau pedesaan masih memprihatinkan.
Meskipun segala macam usaha telah dilakukan, toh pendidikan kita di Indonesia masih tetap rendah dibanding dengan negara tetangga terdekat kita Malaysia. Sebagai guru tentunya kita tidak perlu mengelak jika kita disorot sebagai salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan dewasa ini. Tetapi justru hendaknya kita bersyukur, karena kita telah di kritik, di tegur atau dibangunkan dari keasyikan kita mengajar dengan pola turun temurun yang hanya memberikan informasi tanpa kreasi dan inovasi pada anak didik kita selama ini. Berkali-kali kurikulum direvisi dengan tujuan agar guru sedikit termotivasi untuk berkreasi menyampaikan materi dan informasi, agar anak didik akhirnya bisa berdiri di atas kaki sendiri. Apa hasilnya?. Allahu ‘alam ……!

B. GURU DENGAN POTENSI KE PROFESIONALANNYA.
Kedudukan guru dalam masyarakat adalah sangat penting, karena guru adalah orang-orang yang bertugas mendidik manusia atau memanusiakan manusia, membudayakan manusia dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya, Ananda (2004). Akan tetapi, tidak semua guru memahami atau menyadari paradigma ini.
Secara umum guru harus memenuhi dua ketegori yaitu memiliki capability dan loyality, yakni guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak semata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah kelas. Tak perlu di tutup-tutupi, sampai saat ini praktek-praktek pengajaran masih banyak yang didominasi oleh guru dan bahkan guru sepertinya memiliki otoritas untuk memaksa siswa memenuhi semua yang diinginkannya, dengan kurang bijak memperhatikan kebutuhan belajar siswanya. Hal yang tidak kalah penting adalah sikap kita sebagai guru.
Apabila kita menganggap keguruan itu sekedar sebagai pekerjaan, sekedar “numpang hidup”, proses pembelajaran tentunya kurang berbobot. Oleh karena kita menganggap hanya “pekerjaan” maka setelah bekerja sebagai guru akhirnya kita bekerja pula sebagai pedagang, tukang ojek, tukang kredit barang, sebagai calo, dan sebagai sebagainya. Tidak jarang kita lihat, guru membawa barang dagangan ke sekolah, mengereditkan barang-barang tertentu yang tidak ada hubungannya dengan keguruannya.
Seharusnya keguruan itu dimaknai sebagai profesi sehingga kita tampil sebagai professional, yaitu menekuni profesi dari bangun tidur sampai kembali tidur, Atmazaki (2007). Profesi sebagai guru tugasnya adalah mengajar, yakni sebuah tindakan dari seseorang yang mencoba untuk membantu orang lain mancapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya (Moore, 2001;5). Pandangan ini didasari oleh paradigma bahwa tingkat keberhasilan mengajar bukan pada seberapa banyak ilmu yang disampaikan guru pada siswa, tapi seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar dan memperoleh segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Guru hanya memfasilitasi para siswanya untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuannya.
Sebagai guru, kita ingin menguasai ketrampilan atau kemampuan mengajar dengan baik, yang dilandasi oleh kekuatan-kekuatan substansi keilmuan dan pedagogik. Namun apa hakekat mengajar dan bagaimana mengajar yang efektif, yang nantinya kita sebut kemampuan mengajar berbasis kompetensi? Apakah mengajar hanya mentransfer pengatahuan ke peserta didik, kemudian diuji sehingga diketahui siapa yang lulus dan tidak lulus? Persiapan apa yang kita perlukan agar dapat mengajar dengan efektif? Bagaimana memonitor dan mengevaluasi pembelajaran yang kita laksanakan?
Kita lihat realitas sehari-hari di ruang kelas, sebagian peserta didik belum belajar ketika guru mengajar. Beberapa orang peserta didik belajar hanya sampai pada tingkat pemahaman. Sebagian besar mereka baru mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan pada tingkat ingatan; mereka belum mampu menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah kontektual. Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya menurut Atmazaki (2007):”Pembelajaran belum efektif”. Mungkin kita belum memberdayakan seluruh kompetensi kita dan potensi peserta didik. Dalam kaitan ini diperlukan pengembangan kompetensi dan potensi guru dalam bidang pembelajaran. Di samping itu mampu memahami dan mempraktekkan model-model mengajar, guru hendaknya juga memahami dan mampu mempraktekkan evaluasi dan monitoring pembelajaran.

C. UJIAN NASIONAL (UN)
Ujian Nasional merupakan salah satu dilemma yang sangat menguji kemampuan dan keberadaan guru, kepala sekolah dan sekolah itu sendiri. Kita satu suara sampai saat ini bahwa mutu tidak bermutunya guru, kepala sekolah bahkan sekolah itu sendiri ditentukan oleh jumlah kelulusan ujian nasional dan ujian sekolah. Guru berada pada lini terdepan untuk dinilai oleh semua pihak, sehingga guru seakan-akan berada di lingkaran setan, maju kena mundurpun apalagi. Guru yang pada dasarnya lebih mengetahui kemampuan anak didiknya kadang kala tidak percaya dengan kenyataan yang ada akibat hasil ujian nasional. Anak yang diperkirakan tidak lulus kadang memperoleh nilai yang tinggi, sementara anak yang diidolakan lulus ternyata tidak lulus sehingga kita guru kadang terperangah dibuatnya.
Mari kita merenung sejenak dengan apa yang telah kita lakukan selama ini, semua pihak, semua unsur terkait, mulai dari pembantu rumah tangga sampai Kepala Negara sangat berharap hasil Ujian Nasional melebihi dari target yang ditentukan. Tingkat keberhasilan pendidikan di daerah kota dan kabupaten akan dinilai berdasarkan tingkat kelulusan anak didiknya masing-masing. Bagi daerah baik kota maupun kabupaten yang tingkat kelulusannya tinggi akan diberi suntikan dana pendidikan yang menggiurkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Wakil Presiden kita Yusuf Kalla dalam pesona Wiyata Learning Center (17 Juli 2007): “Selama ini banyak sekolah yang meluluskan siswa didiknya, sebab kalau tidak bupatinya marah, kenapa tidak 100 persen yang lulus. Jika ada upacara di kabupaten, disampaikanlah, ‘Bapak Bupati dan Muspida yang terhormat, sekolah kita lulus 100 persen dan semua tepuk tangan’. Kalau ada yang tidak lulus, itu artinya sekolah itu jelek. Itulah yang membuat siswa-siswa tidak perlu merasa belajar, karena semuanya diusahakan lulus”.
Hal inilah yang menjadi bumerang, sehingga semua pihak yang berada di lingkungan pendidikan berusaha agar bisa mencapai tingkat kelulusan anak didiknya tinggi dan kalau perlu sampai 100 persen. Semua cara akhirnya ditempuh mulai dari yang wajar sampai ke yang tidak wajar. Para pemimpin daerah mangumpulkan kepala-kepala dinas pendidikan untuk menyampaikan pesan sponsor agar berusaha meningkatkan angka kelulusan, akhirnya pesan ini menjadi pesan berantai sampai pada guru-guru yang ditugaskan sebagai pengawas Ujian Nasional. Dalam hal ini patut kita bertanya, apa sebenarnya yang akan kita kejar, mutu pendidikankah atau jumlah yang lulus, atau yang kita kejar kuantitas SDM yang dihasilkan atau kualitas SDMnya.
Jika kita masih terobsesi dengan kuantitas kelulusan, jangan kita bersedih jika banyak anak didik kita akhirnya tidak mampu bersaing untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Jangan kita malu jika toh banyak anak didik kita yang akhirnya menjadi pembantu rumah tangga, dan pramuniaga di Negara jiran maupun di negaranya sendiri. Kalau sudah begini siapakah yang patut disalahkan? Hanya Tuhan yang tahu.
Untuk itu perlu dikaji ulang system dan target yang diinginkan oleh Ujian Nasional (UN). UN sebaiknya jangan dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan. Dengan berhasilnya pendidikan, berhasil gurunya dan sukses pendidikannya. Akhirnya memotivasi masing-masing sekolah untuk berkompetisi memperoleh hasil UN yang tinggi tanpa memperhitungkan cara yang semestinya dilakukan, baik pelaksanaan maupun pengawasannya.

Rabu, 10 Februari 2010

SMANCAND KAYA MODAL SOSIAL

SMANCAN saat ini mulai bergeliat dengan modal sosial yang kuat antara semua elemen yang terkait dengan sekolahnya, mulai dari guru,siswa ataupun alumni. Modal sosial yang dimaksud di sini adalah modal kebersamaan antara semua elemen sekolah, bersama kita bisa. salah satu bukti modal sosial yang sudah eksis adalah pembangunan Mushalla Bahrul 'Ilmi yang murni kerjasama antara guru, siswa,alumni dan para wali murid yang bergotong royong membangun sampai bisa semegah saat ini. masih terpatri di ingatan bapak guru membegol besi pondasi sementara ibuk-ibuk menyiapkan makanan. benar-benar modal sosial yang bermakna.