Laman

Jumat, 12 Februari 2010

Guru dan Pendidikan Masa Depan

GURU DAN PENDIDIKAN DI MASA DEPAN

A. PENDAHULUAN

Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya terutama di kabupaten atau pedesaan masih memprihatinkan.
Meskipun segala macam usaha telah dilakukan, toh pendidikan kita di Indonesia masih tetap rendah dibanding dengan negara tetangga terdekat kita Malaysia. Sebagai guru tentunya kita tidak perlu mengelak jika kita disorot sebagai salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan dewasa ini. Tetapi justru hendaknya kita bersyukur, karena kita telah di kritik, di tegur atau dibangunkan dari keasyikan kita mengajar dengan pola turun temurun yang hanya memberikan informasi tanpa kreasi dan inovasi pada anak didik kita selama ini. Berkali-kali kurikulum direvisi dengan tujuan agar guru sedikit termotivasi untuk berkreasi menyampaikan materi dan informasi, agar anak didik akhirnya bisa berdiri di atas kaki sendiri. Apa hasilnya?. Allahu ‘alam ……!

B. GURU DENGAN POTENSI KE PROFESIONALANNYA.
Kedudukan guru dalam masyarakat adalah sangat penting, karena guru adalah orang-orang yang bertugas mendidik manusia atau memanusiakan manusia, membudayakan manusia dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya, Ananda (2004). Akan tetapi, tidak semua guru memahami atau menyadari paradigma ini.
Secara umum guru harus memenuhi dua ketegori yaitu memiliki capability dan loyality, yakni guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak semata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah kelas. Tak perlu di tutup-tutupi, sampai saat ini praktek-praktek pengajaran masih banyak yang didominasi oleh guru dan bahkan guru sepertinya memiliki otoritas untuk memaksa siswa memenuhi semua yang diinginkannya, dengan kurang bijak memperhatikan kebutuhan belajar siswanya. Hal yang tidak kalah penting adalah sikap kita sebagai guru.
Apabila kita menganggap keguruan itu sekedar sebagai pekerjaan, sekedar “numpang hidup”, proses pembelajaran tentunya kurang berbobot. Oleh karena kita menganggap hanya “pekerjaan” maka setelah bekerja sebagai guru akhirnya kita bekerja pula sebagai pedagang, tukang ojek, tukang kredit barang, sebagai calo, dan sebagai sebagainya. Tidak jarang kita lihat, guru membawa barang dagangan ke sekolah, mengereditkan barang-barang tertentu yang tidak ada hubungannya dengan keguruannya.
Seharusnya keguruan itu dimaknai sebagai profesi sehingga kita tampil sebagai professional, yaitu menekuni profesi dari bangun tidur sampai kembali tidur, Atmazaki (2007). Profesi sebagai guru tugasnya adalah mengajar, yakni sebuah tindakan dari seseorang yang mencoba untuk membantu orang lain mancapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya (Moore, 2001;5). Pandangan ini didasari oleh paradigma bahwa tingkat keberhasilan mengajar bukan pada seberapa banyak ilmu yang disampaikan guru pada siswa, tapi seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar dan memperoleh segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Guru hanya memfasilitasi para siswanya untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuannya.
Sebagai guru, kita ingin menguasai ketrampilan atau kemampuan mengajar dengan baik, yang dilandasi oleh kekuatan-kekuatan substansi keilmuan dan pedagogik. Namun apa hakekat mengajar dan bagaimana mengajar yang efektif, yang nantinya kita sebut kemampuan mengajar berbasis kompetensi? Apakah mengajar hanya mentransfer pengatahuan ke peserta didik, kemudian diuji sehingga diketahui siapa yang lulus dan tidak lulus? Persiapan apa yang kita perlukan agar dapat mengajar dengan efektif? Bagaimana memonitor dan mengevaluasi pembelajaran yang kita laksanakan?
Kita lihat realitas sehari-hari di ruang kelas, sebagian peserta didik belum belajar ketika guru mengajar. Beberapa orang peserta didik belajar hanya sampai pada tingkat pemahaman. Sebagian besar mereka baru mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan pada tingkat ingatan; mereka belum mampu menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah kontektual. Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya menurut Atmazaki (2007):”Pembelajaran belum efektif”. Mungkin kita belum memberdayakan seluruh kompetensi kita dan potensi peserta didik. Dalam kaitan ini diperlukan pengembangan kompetensi dan potensi guru dalam bidang pembelajaran. Di samping itu mampu memahami dan mempraktekkan model-model mengajar, guru hendaknya juga memahami dan mampu mempraktekkan evaluasi dan monitoring pembelajaran.

C. UJIAN NASIONAL (UN)
Ujian Nasional merupakan salah satu dilemma yang sangat menguji kemampuan dan keberadaan guru, kepala sekolah dan sekolah itu sendiri. Kita satu suara sampai saat ini bahwa mutu tidak bermutunya guru, kepala sekolah bahkan sekolah itu sendiri ditentukan oleh jumlah kelulusan ujian nasional dan ujian sekolah. Guru berada pada lini terdepan untuk dinilai oleh semua pihak, sehingga guru seakan-akan berada di lingkaran setan, maju kena mundurpun apalagi. Guru yang pada dasarnya lebih mengetahui kemampuan anak didiknya kadang kala tidak percaya dengan kenyataan yang ada akibat hasil ujian nasional. Anak yang diperkirakan tidak lulus kadang memperoleh nilai yang tinggi, sementara anak yang diidolakan lulus ternyata tidak lulus sehingga kita guru kadang terperangah dibuatnya.
Mari kita merenung sejenak dengan apa yang telah kita lakukan selama ini, semua pihak, semua unsur terkait, mulai dari pembantu rumah tangga sampai Kepala Negara sangat berharap hasil Ujian Nasional melebihi dari target yang ditentukan. Tingkat keberhasilan pendidikan di daerah kota dan kabupaten akan dinilai berdasarkan tingkat kelulusan anak didiknya masing-masing. Bagi daerah baik kota maupun kabupaten yang tingkat kelulusannya tinggi akan diberi suntikan dana pendidikan yang menggiurkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Wakil Presiden kita Yusuf Kalla dalam pesona Wiyata Learning Center (17 Juli 2007): “Selama ini banyak sekolah yang meluluskan siswa didiknya, sebab kalau tidak bupatinya marah, kenapa tidak 100 persen yang lulus. Jika ada upacara di kabupaten, disampaikanlah, ‘Bapak Bupati dan Muspida yang terhormat, sekolah kita lulus 100 persen dan semua tepuk tangan’. Kalau ada yang tidak lulus, itu artinya sekolah itu jelek. Itulah yang membuat siswa-siswa tidak perlu merasa belajar, karena semuanya diusahakan lulus”.
Hal inilah yang menjadi bumerang, sehingga semua pihak yang berada di lingkungan pendidikan berusaha agar bisa mencapai tingkat kelulusan anak didiknya tinggi dan kalau perlu sampai 100 persen. Semua cara akhirnya ditempuh mulai dari yang wajar sampai ke yang tidak wajar. Para pemimpin daerah mangumpulkan kepala-kepala dinas pendidikan untuk menyampaikan pesan sponsor agar berusaha meningkatkan angka kelulusan, akhirnya pesan ini menjadi pesan berantai sampai pada guru-guru yang ditugaskan sebagai pengawas Ujian Nasional. Dalam hal ini patut kita bertanya, apa sebenarnya yang akan kita kejar, mutu pendidikankah atau jumlah yang lulus, atau yang kita kejar kuantitas SDM yang dihasilkan atau kualitas SDMnya.
Jika kita masih terobsesi dengan kuantitas kelulusan, jangan kita bersedih jika banyak anak didik kita akhirnya tidak mampu bersaing untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Jangan kita malu jika toh banyak anak didik kita yang akhirnya menjadi pembantu rumah tangga, dan pramuniaga di Negara jiran maupun di negaranya sendiri. Kalau sudah begini siapakah yang patut disalahkan? Hanya Tuhan yang tahu.
Untuk itu perlu dikaji ulang system dan target yang diinginkan oleh Ujian Nasional (UN). UN sebaiknya jangan dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan. Dengan berhasilnya pendidikan, berhasil gurunya dan sukses pendidikannya. Akhirnya memotivasi masing-masing sekolah untuk berkompetisi memperoleh hasil UN yang tinggi tanpa memperhitungkan cara yang semestinya dilakukan, baik pelaksanaan maupun pengawasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar